السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
YA RABB BERILAH CINTAMU, WALAU SETETES BIARKANLAH : HATI, PIKIRAN, TUBUH KITA SELALU MENDEKAT PADA-NYA

Facebook Halimi Zuhdy

Jumat, 31 Maret 2017

Pengantar Buku Antologi Puisi “Puisiku Sunyi"


Seuntai Kata :  “Tak Seindah Puisi”, Katamu!



Halimi Zuhdy

Puisi lahir dari imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang diwarnai dengan khayal. Kata-katanya; kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun tidak mencair. Ia selalu hadir dalam lintasan senjarah, menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya menjadi teman dalam sepi bagi yang selalu merasa kesepian. Ia selalu unik dalam kehadirannya.
Puisi, tidak sebatas kata yang diikat kalimat, dipoles dengan titik dan koma, yang menjadi bait-bait indah disanggul larik, yang liriknya membariskan rasa, membuat prasa sendiri dalam tubuhnya. Fisiknya; kadang kurus, kadang gemuk, terkadang sedang. Kurus, gemuk dan sedang tidak membuatnya harus  diet, tambah makana pala ginutrisi, ia selalu menjadi dirinya sendiri. Ia memliki cara gaya yang berbeda; metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.


Rimanya berkelindan di antara huruf huruf, bermusik ria antara kata; di awal, di tengah, kadang di akhir. Terserah ah, di mana pun ia suka intuk berima. Karena dalam puisi tak ada paksaan, apalagi harus dipaksa, ia adalah sungai bandang yang bisa menghentak, ia laut yang mampu mesunami, kadang angin yang semilir, kadang pula kapas yang manut pada angin. Terserahlah!!. Wajahnya juga berbeda-beda; di awali huruf sanggul, baris, di akhiri titik, kadang juga koma, atau tanpa titik dan koma.
Kata-kata dalam puisi selalu menjadi pengantin, dari pinangan (diksi) sang kekasih, menuju pelaminan dengan wajah (tipografi)  cantik, malam-malamnya dihias dengan imaji-imaji (auditif, visual, taktil) cinta. Ketika mentari sudah tanpak, batinnya memburu; sense (makna), feeling (rasa),  tone (nada), dan intention (amanat).
Antologi puisi Mahasiswa BSA ini hadir dikala kata-kata lagi gersang, kalimat-kalimat lagi germercik, bait-bait puisi menyepi, menepi, entah karena tak ada seoggok emas untuk dijual, atau memang rasa sudah tak puitis, atau memang tak lagi butuh puisi untuk mengalunkan; rindu, cinta, benci, dan keangkuhan. Saya dikagetkan dengan puluhan judul yang indah, dari mahasiswa yang lagi menguapkan hasrat untuk bertingkah.
Antologi puisi ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji, diteliti, direnungi, dan diapresiasi. Bagaimana parapenyair mempermainkan kata biasa, menjadi bernada, dipenuhi nafas makna. Kata-kata mengalir deras dengan deburnya yang menari, seperti; Ungkapan Cintaku Padamu,Bangkai, Al Farooghu, Senyum Sampul Biru, Jajaran Patah Hati, Aku sang Penari, Rasa Itu mendatangiku, Pencarian, Kehilangan,Sepiku,  dan puisi-puisi lainnya.

Riuh, Aku ingin sepi, lalu aku pergi, Bising
Aku ingin tenang, lalu aku berlari

Pergi mencari sepi walau suny, Berlari
Menuju tempat tenang, walau keringat membasahi (Puisi Pencarian)
Tentang rahasia cinta, cukuplah diam yang memaknai
Sungguh telah kugantungkan sepenuhnya di atas atap bumi
Mengharap dari penguasanya sebuah perhatian
Dan kepasrahan bagi pengharap menjadi keharusan  (Puisi Ungkapan Cinta Padamu)

            Puisi di atas, yang berjudul  Pencarian dan Ungkapan Cinta Padamu bagaimana ia menyepi, menepi, berdiam, tak ada kebisingan dalam hidup, adalah ungkapan kejujuran sang penyair, untuk menguak rahasia-rahasia keindahan  hening dan bening dalam hidup. Puisi, selalu hadir menguak realita yang tersebunyi, dari kedalam hati, yang kadang tak diuangkap pada setiap orang, kecuali pada orang-orang tertentu, itu pun “kalau”. Sepi, bahasa yang paling nyaman untuk menulis puisi, sepi selalu menjadi karya dalam baris-baris puisi, seperti puisi Sepiku
sepi
angin malam lepas membawa semua kenangan
setiap kata yang terucap seperti tak bermakna
bisikan bisikan kerinduan semakin bergemuruh (Puisi Sepiku)

      Antologi puisi yang ditulis bersama, memunculkan banyak karakter, walau berangkat dari tema yang sama, tapi kesamaannya adalah perbedaan, itulah yang saya tangkap dari antologi puisi ini. Kesamaan dan perbedaannya adalah romantisme dari antologi ini, seperti “rindu” dalam bait-bait beberapa penyair, memiliki rasa dan prasa sendiri, walau ungkapannya kadang berselingkuh dengan ungkapan yang lain, mungkin karena ada kesamaan rasa di atap yang sama. Seperti puisi; Rasa, Malam Terhenti, Kehilangan, Secangkir Kenangan, Sepiku, Cemburu, Ramadan Karim, Jajaran Patah Hati, dan Ini Cinta.

saat fajar mulai membiru
Engkau, betul-betul fasih berucap
"Aku mencintaimu,
Selamanya."
Ungkapmu itu,
usai menidurkan ku
Lama sekali (Puisi Malam Terhenti)

           Selain puisi yang bernada “cinta, rindu, dan rasa”, dalam antologi ini memiliki nada yang mirip bahkan sama dalam salah satu kegiatan keagamaan, seperti “puasa” di Bulan Ramdhan. Namun  keragaman bahasa yang terukir, belum mampu membuat garis-garis kwatulistiwa dalam setiap barisnya, kata-katanya seperti terpaksa muncul, dipenjara belum waktunya, dipanggang tidak hangus, dimasak tidak mendidih, puisi yang belum matang untuk dikeluarkan, akan mengalunkan aroma yang kurang sedap, walau bunga-bunga kata-katanya begitu indah. Puisi yang lahir tanpa kehamilan imaji, realitas, pengalaman akan melahirkan kata-kata yang prematur. Ini yang saya dapatkan dari beberapa puisi di antologi ini.
            Puisi yang lahir seharusnya melalui tirakat “panjang”, bagaimana kata disempuh, imaji dimasak, diolah sedemikian rupa, menjadi puisi yang benar-benar matang. Tetapi, apapun yang telah lahir dalam antologi ini, adalah sebuah keindahan yang luar biasa, lebih indah dari taman Keukenhof Gardens, Lavender, Hitachi Seaside park dan Butchart Gardens, ia suatu sangat akan menghilang, tapi antologi ini akan abadi, selagi waktu masih mebutuhkan para penyair, dan pembaca adalah zaman yang berkalimat.
Percy Bysche Shelly seorang penyair berkata, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. Rekaman dalam puisi ini, pastilah yang terbaik oleh parapenulisnya, bagaimana ia menuangkan, meluangkan, menuntaskan, dan mempermainkan segala ruh dan raganya untuk mencipta setiap kata yang ada. Seperti puisi Aku dan Mereka, walau kata-katanya sederhana, dan kurang puitik, tapi memiliki kekuatan dalam makna;
Aku iri pada matahari/Yang selalu bersinar di siang hari/Tanpa lupa tuk sinari malam hari/
Aku iri pada malaikat/Yang selalu berbuat/Tanpa mengenal ma’siat.
Aku iri pada bumi/Yang selalu setia berotasi/Tanpa pernah mengalami migrasi.
Aku iri pada gunung/Yang rela terpasung/Agar bumi tak terkatung
Aku iri pada air/Yang bisa terus mengalir/Tanpa mengenal kata berakhir
Aku iri pada burung/Yang bisa terus membumbung/Tanpa mengenal kata terkungkung
Aku iri pada kupu-kupu/Yang selalu bisa temukan madu/Tanpa ada tujuan untuk mengganggu
Aku iri pada batu karang/Yang selalu menyambut ombak dengan riang/
Aku iri pada awan/Yang bisa terus berjalan/Tanpa takut untuk saling bertabrakan

Membaca puisi di atas, tidak terlalu sulit untuk memahami, ia sudah membaca dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, dan menguapkan kepada halayak, bagaimana asap kata-katanya benar-benar memudarkan cermin retak, atau membuat asap sendiri dalam setiap barisya. Berbeda dengan puisi Hujan, mengapa Engkau Datang?. /Hujan,  kali ini begitu berbeda/Untuk apa datang/ kalau hanya menebar dingin/Besok kuharap kau datang melalui pintu yang berbeda/Bawakan juga baju hangat yang kau janjikan dahulu/. Puisi dengan kata-kata yang sederhana juga, tetapi ada imaji yang terkantuk dan terjaga di sana, sang pembaca pasti mau bertanya-tanya Hujan, mengapa Engkau Datang?.
Setiap puisi yang dicipta, memiliki alasan untuknya, tetapi kadang tidak ada alasan, mengapa ia harus dicipta. Bagi seorang penyair, kadang tidak butuh mengapa, kapan, di mana, bagaiman dan lainnya, yang ia butuhkan hanya pena dan lontar, titik.  Dalam antologi ini, beberapa penyair, sepertinya juga begitu, ia lahirkan, bahkan ia aborsikan puisinya untuk sebuah ketenangan jiwanya, setelah selesai ia biarkan untuk dinikmati bagi yang ingin meikmatinya, tetapi bagi yang tidak suka, biarkan ia mencari puisi lainnya. Karena alasan untuk mencipta sepertinya tidak terlalu penting. Seperti puisi Alasan;
Masihkah perlu alasan/Mengapa rintik hujan jatuh ke pelukan bumi.
Masihkah perlu alasan/Mengapa Waktu malam menggantikan waktu siang atau bahkan sore hari
Masihkah perlu alasan/Mengapa ombak bergulung menepi
Masihkah perlu alasan/Mengapa daun bergoyang saat angin menerpai
Manusia, yang ia bisa hanya alasan/Baginya alasan adalah sebuah keperluan
Ia beralasan saat datang perintah Tuhan/Saat tiba larangan mungkar/Bahkan saat tertimpa ketetapan/ Namun mereka lupa akan nikmatNya/Lupa kejadian tercipta dirinya/Lupa tentang keberadaannya/Lupa segalanya itu tiada/Karena semua yang di ingat itu prihal dunia/Padahal manusia, banyak diajar/Banyak belajar/Tapi tetap saja kurang ajar.

            Walau terciptanya puisi, tidak karena “alasan”, tetapi ia kadang selalu butuh alasan untuk tercipta, dan dari berbagai alasan itulah puisi selalu butuh pemaknaan dan penafsiran. Puisi akan selalu menyisakan seribu pemaknaan dan penafsiran, ia tidak akan pernah utuh ditafsirkan karena pesona yang selalu melekat dalam kata-katanya. larik-lariknya tak tersekat oleh kebakuan bahasa, dia bebas menerbangkan sayap-sayap maknanya. Sebuah pengungkapan yang tulus, memancarkan cahaya kesetiaan yang tinggi, setiap kata serasa ada kedekatan dengan pribadi-pribadi yang dituju, ia tidak hanya mengungkapkan kata, tapi mampu merahasiakannya, dan kemudian ia belai dengan kalimat-kalimat cinta yang begitu indah. Walau tak mengandung intuisi yang melejit, ia mampu memberikan tetesan-tetesan inspirasi dan evaluasi dari diri bagi pembacanya.
Saya tidak bisa menghakimi mana yang disebut puisi indah, puisi yang baik dan benar, tapi secara garis besar  puisi itu benar-benar bisa disebut puisi kalau ia mampu memberikan makna dengan ukiran kata-kata yang indah. Kemudian apakah kata-kata yang tidak indah tidak bisa disebut puisi, belum tentu, karena ada yang mementingkan makna tanpa menghiraukan diksi, tapi ini juga bisa disebut puisi, indah dan tidak kembali pada penilaan pembaca. Biarkan puisi yang terpampang dinilai dan dihukumi oleh pembaca. Karena setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk menyebut itu puisi. ini yang pernah saya singgung dalam tulisan Penyair Salon, sebuah judul puisi yang saya ambil dari sajak Rendra.
“Tak Seindah Puisi”, Katamu!, sebuah judul untuk pengantar Antologi Puisi ini, hanya untuk menekankan, bahwa puisi yang ditulis dengan cara apapun, tetap memiliki keindahan asalkan berintilaq dari kreatifitas sang penulis. Dan keindahan itu dapat ditemukan dari berbagai segi, segi dahirnya atau segi batinnya, kalau segi dahirnya tidak ditemukan keindahan, mungkin segi batinnya, atau sebaliknya. Kalau belum menemukannya, maka kita mencarinya dari sisi historisya, dan seterusnya. Maka, puisi akan selalu indah, jika ia kita benar-benar menganggapnya sebuah realitas kehidupan.
****
Halimi Zuhdy:  Penulis beberapa Antologi Puisi, dan Pendiri Thoriqot Sastra Indonesia. Puisinya bisa dinikmati dalam dua bahasa (Arab dan Indonesia). www. Halimizuhdy.blogspot.com www.sastrahalimi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar